HUKUM WARIS DI INDONESIA Membahas urusan waris seakan-akan menjadi sesuatu yang tabu, bahkan tidak jarang waris malah menjadi penyebab perselisihan dan perpecahan keluarga. Warisan adalah harta peninggalan dari orang yang sudah meninggal. Sedikit membuat pening, karena saudara yang mau dibagi banyak, belum lagi rupanya pewaris juga meninggalkan hutang yang cukup banyak, akan tetapi banyak juga malah bikin pusing, karena tiba-tiba salah satu saudara menguasai bagian waris yang paling banyak. Lalu bagaimana hukum di Indonesia mengaturnya?

Terdapat tiga aturan hukum pembagian warisan di Indonesia, yaitu KUHPerdata, Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam/KHI) dan adat. Dalam pembahasan kali ini hanya akan menjelaskan bagaimana KUHPerdata dan KHI mengatur waris.

Di dalam Pasal 832 KUHPerdata, diatur bahwa yang berhak mendapatkan harta warisan atau yang berhak menjadi ahli waris dan memiliki kepentingan langsung terhadap harta warisan tersebut adalah para keluarga sedarah, baik yang sah maupun luar kawin, dan suami/istri pewaris yang sah yang masih hidup.

Sedangkan Pasal 174 KHI, menyatakan bahwa:

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah :Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek; Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.

(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Jadi bagi siapapun sepanjang memenuhi ketentuan 832 KUHPerdata atau 174 KHI maka berhak menjadi ahli waris sepanjang tidak ada keadaan atau ketentuan hukum yang menghalanginya menjadi ahli waris.

Sebagai ahli waris, maka mempunyai hak untuk menuntut pembagian, dasar hukumnya adalah Pasal 1066 KUHPerdata dinyatakan sebagai berikut: “Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima harta peninggalan tersebut dalam keadaan tidak terbagi. Pemisahan harta peninggalan itu dapat sewaktu-waktu dituntut, meskipun ada ketentuan yang bertentangan dengan itu.

Sedangkan di dalam Pasal 188 KHI menjelaskan bahwa: “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan“.

Dari ketentuan diatas, apabila seorang ahli waris dihalangi untuk mendapatkan bagiannya atas harta waris, maka dapat mengajukan gugatan pembagian harta warisan ke Pengadilan Negeri ditempat tanah warisan tersebut berada jika perkawinan orangtua ahli waris tercatat di Kantor Catatan Sipil, atau jika perkawinan pewaris dicatatkan di Kantor Urusan Agama, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di tempat tanah warisan tersebut berada.

Dasar hukum yang mengatur tentang kebolehan mengajukan gugatan pembagian waris adalah sebagai berikut: Pasal 834 KUHPerdata yang berbunyi : ”Tiap-tiap waris berhak mengajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya, terhadap segala mereka, yang baik atas dasar hak yang sama, baik tanpa dasar sesuatu hak pun menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, seperti pun terhadap mereka, yang secara licik telah menghentikan penguasaannya. Ia boleh memajukan gugatan itu untuk seluruh warisan, jika ia adalah waris satu-satunya, atau hanya untuk sebagian jika ada berapa waris lainnya.”

Pasal 188 KHI berbunyi demikian: “.………..Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui pembagian harta warisan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan”.

Demikian sedikit penjelasan mengenai sengketa waris, semoga bermanfaat. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *