Seringkali sengketa waris terjadi ketika salah satu ahli waris menguasai obyek waris baik sebagian atau seluruhnya, namun bisa saja terjadi obyek waris dikuasai pihak di luar ahli waris. Apabila hal tersebut terjadi, apakah seluruh ahli waris harus mengggugat pihak di luar ahli waris tersebut agar objek sengketa kembali kepada para ahli waris dari penguasaan pihak lain?
Ada salah satu kasus yang dapat ditarik suatu kaidah hukum yang menjawab pertanyaan diatas. Sebelum sampai pada kaidah hukum tersebut, perlu diuraikan duduk perkara pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2490 K/Pdt/2015 tanggal 11 Mei 2016.
Awalnya, ada seorang Penggugat merupakan salah satu ahli waris dari ibu X yang ibu X tersebut anak dari ibu Y. Ibu Y ini dahulu pernah membeli sebidang tanah (Objek Perkara). Setelah Ibu Y meninggal dunia, sebidang tanah tersebut dilanjutkan pengusahaannya oleh Ibu X (orangtua Penggugat) sampai Ibu X meninggal dunia dan Penggugat dan beberapa saudaranya melanjutkan pengusahaan diatas Objek Perkara dan sebagian dari Objek Perkara ini pernah disewakan kepada Tergugat C dan kepada Tergugat D dan pihak lainnya.
Akan tetapi sekitar tahun 2012, Objek Perkara telah begitu saja dikuasai tanpa hak oleh Tergugat A, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan cara menyewakan tanah perkara kepada Tergugat B sesuai dengan Surat Perjanjian Sewa Menyewa Tanah objek perkara antara Tergugat A dengan Tergugat B tanggal 25 Mei 2012.
Tergugat B telah pula mendirikan bangunan permanen di atas tanah objek perkara dan kemudian bangunan semi permanen milik Tergugat C dan Tergugat D yang ada dalam Objek Perkara telah suruh bongkar baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama oleh Tergugat A dengan tergugat B, dan setelah bangunan toko/milik Tergugat B siap, Tergugat B menyuruh Tergugat C dan Tergugat D untuk mendiami kedai/toko yang telah dibangunnya di atas tanah Objek Perkara tersebut.
Perbuatan Para Tergugat yang demikian tentu saja secara hukum sangatlah merugikan pihak Penggugat beserta pihak lainnya yang tersangkut yang berhak atas Objek Perkara sesuai dengan surat jual beli tanggal 29 Oktober 1904, perbuatan Para Tergugat yang demikian adalah perbuatan yang dapat dikwalifisir sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Pada Putusan Pengadilan tingkat pertama, Gugatan tersebut dikabulkan sebagian yang pada pokoknya menyatakan Objek Perkara merupakan harta warisan Penggugat berserta saudara kandungnya yang lain yang diperolehnya dari harta warisan orangtuanya bernama Ibu X dan Ibu X didapatnya pula dari pembelian orangtuanya bernama Ibu Y.
Namun pada tingkat banding, Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dianulir, yang pada intinya memutuskan Gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima (Niet On Vankelijk Verklaard). Pertimbangan Judex Factie tingkat banding adalah menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima karena tidak seluruh ahli waris dari Penggugat/Terbanding yang mengajukan gugatan dalam perkara ini dan termasuk Penggugat/Terbanding tidak pula mendapat kuasa dari ahli waris yang lainnya dan seterusnya.
Terhadap putusan banding tersebut, Penggugat/Terbanding kemudian mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Lalu bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung terhadap putusan tingkat banding tersebut? Berikut pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi:
“Bahwa alasan kasasi dari Penggugat tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Tinggi Padang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa gugatan tentang harta warisan tidak diwajibkan harus seluruh ahli waris menjadi Penggugat dalam gugatan tersebut, cukup salah seorang dari ahli waris saja yang mewakili kepentingan ahli waris yang lainnya, maka kepentingan ahli waris yang lainnya tersebut telah terwakili secara hukum;
Bahwa dalam perkara a quo objek sengketa dikuasai oleh Para Tergugat (pihak diluar ahli waris) sehingga Penggugat tidak perlu mendapat kuasa dari ahli waris yang lain dalam mengajukan gugatan, oleh karena tujuan gugatan adalah mengembalikan objek sengketa dari penguasaan pihak lain ke dalam boedel warisan dan menjadi hak Penggugat bersama-sama ahli waris yang lain sebagaimana dituntut dalam petitum gugatan;
Bahwa pertimbangan Judex Facti/Pengadilan Negeri sudah tepat dan benar, objek sengketa terbukti harta warisan yang menjadi hak Penggugat beserta saudara-saudaranya yang lain yang berasal dari orang tuanya; Bahwa oleh karena itu putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Padang harus dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan pertimbangan tersebut di atas;”
Dari pertimbangan tersebut dapat diambil kaidah hukum: “Tuntutan tentang pengembalian harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak tidak perlu diajukan oleh semua ahli waris”. Kaidah tersebut sejalan dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 244 K/Sip/1959, tanggal 5 Januari 1959 menyatakan: “Gugatan tentang harta warisan tidak diwajibkan harus seluruh ahli waris menjadi Penggugat dalam gugatan tersebut, cukup salah seorang dari ahli waris saja yang mewakili kepentingan ahli waris yang lainnya, maka kepentingan ahli waris yang lainnya tersebut telah terwakili secara hukum”;
- Putusan Mahkamah Nomor 439 K/ Sip/ 1968, tanggal 8 Januari 1969 menyatakan: “bahwa terhadap tanah asal warisan orang tua yang dikuasasi oleh pihak ketiga secara melawan hukum, tidak perlu dilakukan gugatan oleh seluruh ahli waris dari Pewaris”.
Demikian, semoga bermanfaat.