Putusan Mahkamah Agung RI No. 803 K/SIP/1970, tanggal 5 Mei 1970[1]
Kaidah Hukum: “Apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama, maka dalam barang tersebut tetap melekat harta bersama meskipun barang itu dibeli atau dibangun berasal dari pribadi.”
Putusan Mahkamah Agung RI No: 2691 K/Pdt/1996, tanggal 18 September 1998[2]
Kaidah Hukum: “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui isti adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum.”
Putusan Mahkamah Agung RI No: 392 K/Pdt/1969 Tanggal 1 Oktober 1969
Kaidah Hukum: “Terjadi perceraian serta pembagian harta bersama antara bekas suami-isteri masing-masing 1/2 bagian. Bahwa dipertimbangkan perihal harta benda tersebut termasuk biaya hidup, pendidikan dan pemeliharaan anak yang menurut yurisprudensi sebagai hukum yang hidup biaya-biaya tersebut tidak hanya dibebankan kepada ayah saja tetapi juga kepada ibu, sehingga untuk menjamin pembagian tersebut, conservatoir beslag dapat disahkan dan dinyatakan berharga teristimewa untuk jaminan pelaksanaan putusan (eksekusi)”.
Putusan Mahkamah Agung RI No: 90 K/AG/2003 tanggal 10 Nopember 2004
Kaidah Hukum: “Harta bersama harus dirinci antara harta yang diperoleh selama perkawinan dan harta milik pribadi (harta bawaan, hadiah, hibah, warisan)”. “Obyek sengketa yang tidak dapat dibuktikan harus dinyatakan ditolak, sedangkan obyek sengketa yang obscuur libel harus dinyatakan tidak dapat diterima”
Putusan Mahkamah Agung RI No: 32 K/AG/2002 tanggal 20 April 2005
Kaidah Hukum: “Untuk membagi harta peninggalan yang di dalamnya terdapat harta bersama, maka harta bersama harus dibagi terlebih dahulu, dan hak pewaris atas harta bersama tersebut menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”
Putusan Mahkamah Agung RI No: 443K/Pdt/1984, tanggal 26 September 1985
Kaidah Hukum: “Karena Rumah Yang Digugat Merupakan Harta Bersama (Gono-Gini), Isteri Tergugat Harus Juga Digugat”
Putusan Mahkamah Agung RI No: 701 K/PDT/1997 Tertanggal 24 Maret 1999[3]
Kaidah Hukum: “Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum”
Putusan Mahkamah Agung RI No: 263 K/Sip/1976
Kaidah Hukum: “Hukum Adat: Karena Tanah Sengketa Merupakan Harta Bersama Suami Isteri Tergugat I-II, Untuk Menjual Tanah Tersebut Tergugat I Harus Mendapat Persetujuan Isterinya”.
Putusan Mahkamah Agung RI No: 209 K/PDT/2000 Tanggal 26 Februari 2002
Kaidah Hukum: “(menjaminkan harta bersama) putusan batal demi hukum atas perjanjian kredit tersebut disebabkan tidak terpenuhinya suatu sebab yang halal sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW. Objek yang diperjanjikan adalah harta bersama sehingga apabila hendak dijaminkan/dialihkan kepada pihak lain oleh suami harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang berhak”.
Sumber referensi:
[1] Kumpulan Kaidah Hukum Putusan MA RI Tahun 1953-2008, berdasarkan penggolongannya, karangan Hulman Panjaitan, SH, halaman 227 [2] Kumpulan Kaidah Hukum Putusan MA RI Tahun 1953-2008, berdasarkan penggolongannya, karangan Hulman Panjaitan, SH, halaman 228 [3] Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jilid 2, Penerbit PT. Pilar Yuris Ultima, Jakarta 2009, Halaman 783