
Adanya perselisihan dan pertengkaran sebagai alasan perceraian yang diterima menurut hukum Indonesia. Dengan adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara pasangan suami istri, maka ikatan batin dalam perkawinan dianggap telah pecah (syiqaq, broken marriage). Meski ikatan secara hukum masih ada, secara rasional tidak bermanfaat lagi bagi kedua belah pihak maupun bagi keluarganya.
Bahkan dalam kasus tertentu, ikatan perkawinan yang terdapat perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat membahayakan keselamatan masing-masing pihak atau keluarga. Karena itu, hukum memberikan jalan keluar untuk menghindari keadaan buruk yang tidak diinginkan (saddu al dzari`ah), yaitu melalui perceraian.
Dalam mengajukan gugatan cerai, harus disertai dengan alasan-alasan yang diterima oleh hukum. Salah satu alasan perceraian diatur dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu “antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
Adanya ketentuan yang menyatakan perselisihan dan pertengkaran dan ditambah dengan kalimat terus menerus bukanlah harga mati sebagai alasan perceraian akan tetapi hanyalah alat bantu bagi hakim untuk menjatuhkan penilaian apakah suami istri masih ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau tidak, sehingga kesimpulannya kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga merupakan alasan perceraian yang mendominasi ketentuan alasan perceraian yang diatur dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f).
Dalam kondisi suatu rumah tangga yang tidak ada lagi dalam keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana maksud dan tujuan perkawinan, maka dalam praktik Hakim tidak melihat dari pihak mana yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran, namun yang terpenting bagi hakim dalam menilai adalah apakah rumah tangga tersebut masih ada harapan untuk hidup rukun kembali atau tidak.
Pertimbangan tersebut sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 379 K/AG/1995 tanggal 26 Maret 1997, menyatakan: “Suami istri yang sudah tidak saling melaksanakan kewajiban dan sudah saling tidak memperdulikan bahkan sudah pisah tempat tinggal tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun kembali, maka rumah tangga tersebut terbukti retak dan pecah dan telah memenuhi alasan cerai Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975.
Begitu pun dalam doktrin yang dibangun oleh Mahkamah Agung RI melalui yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991. yang harus diterapkan dalam perkara perceraian adalah “ pecahnya rumah tangga (broken marriage) “ oleh karenanya tidaklah penting menitik beratkan dan mengetahui siapa yang bersalah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon”.
Demikian juga yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang lainnya yaitu nomor 28 PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996, yang harus diterapkan dalam perkara perceraian bukanlah “ matri monial guilt “ akan tetapi broken marriage ( pecahnya rumah tangga ) oleh karenanya tidaklah penting menitikberatkan dan mengetahui siapa yang bersalah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.Demikian, semoga bermanfaat.
Konsultasi atau tanya jawab mengenai permasalahan perceraian yang sedang dihadapi dapat disampaikan melalui WA/SMS ke 0878 8585 0050